Kamis, 02 Oktober 2008

Pengen tau nggak Kisah NASI GORENG Q ? Baca yaac?

NASI GORENG

Sebagai seorang siswa, aku merasa beruntung bisa melanjutkan sekolahku. Banyak anak-anak yang putus sekolah, tidak dapat mengenyam pendidikan. Karena biaya pendidikan sekarang mahal. Syukurnya aku tak bernasib seperti mereka . Ibu masih sanggup membiayai uang sekolahku. Berjualan nasi goreng, sumber penghasilan bagi kami. Ibu tidak punya keahlian lain selain memasak nasi goreng. Tapi , itu cukup bisa menghidupi kami berdua.

Dulu sewaktu ayah masih hidup.kami hidup di lingkungan keluarga yang keras, selalu ada perselisihan dan pertengkaran. Karena perebutan sebuah warisan, ayah meninggal karena ulah orang yang berilmu hitam, itu menurutku. Tapi, karena fitnah. Orang – orang meyakini bahwa ibulah pembunuhnya. Kami terusir dari kampung dan mengungsi ke kota. Tidak ada pilihan lain, malam itu juga warga kampung mengancam akan membakar rumah, jika kami tidak angkat kaki dari kampung.

Di kota, hidup kami sangat sederhana. Aku bersyukur masih ada warga yang membeli nasi goreng ibu. Bahkan ada yang memesan nasi goreng untuk acara keluarganya. Sekali lagi aku bersyukur, hidup kami masih bisa tertolong dan aku masih bisa sekolah.

Hidup memang seperti jalan, kadang lurus dan kadang menikung. Aku tidak paham apa yang terjadi di luar sana sehingga para pedagang menaikkan harga semua barang. Ibu hampir putus asa . Beras, minyak goreng, minyak tanah semua itu mahal. Harganya per-kilo melambung tinggi hingga tak terjangkau oleh kami. Semakin hari semakin sedikit pelanggan yang datang berbelanja. Penghasilan kami berkurang tiap harinya. Sampai-sampai ibu tidak sanggup membayar uang sekolahku lima bulan belakangan ini. Ibu menerima surat untuk menemui Kepala Sekolah dengan maksud membahas masalah ini. Aku tahu ibu tak bisa berbuat apa-apa, pasrah. Sampai akhirnya ibu datang ke sekolahku.

Di sekolah mataku terus mengawasi ibu yang dihadapkan dengan Kepala Sekolah. Ketika ibu keluar dari ruangan, aku meraih tangan ibu. Ibu menatapku seolah – olah tidak akan terjadi apa-apa. “Pak Kepala Sekolah mengatakan apa kepada ibu ? Apa aku akan di skor atau aku akan dikeluarkan dari sekolah ! Jawab Bu … ! ?” Aku bertanya dengan wajah gelisah dan mata berkaca-kaca, hanya untuk menanti satu jawaban. Ibu yang sedang menatapku, tidak memberi jawaban atas pertanyaanku. Hanya gelengan kepala yang ia perlihatkan padaku. Tangan halus ibu yang masih kupegang kini memeluk tubuhku erat-erat. Hatiku hanyut oleh ketulusan cinta seorang ibu, seakan-akan aku tak ingin lepas dari pelukan ibu. Kehangatan itu sekejap terhenti ketika seseorang menyentuh bahu ibu memberi isyarat apakah ibu masih ingat padanya. Itu Pak Rahdi.Pemilik toko di dekat sekolahku. Sepertinya ibu masih ingat lelaki pemilik toko itu. Ibu menepuk-nepuk bahu Pak Rahdi, tak menyangka akan bertemu dengan teman lama. Ibu dan Pak Rahdi saling bertukar cerita hidup masing-masing. Ibu bercerita semua yang menimpa kami akhir-akhir ini. Pak Rahdi paham apa yang dirasakan ibuku. Pak Rahdi sepertinya ingin membantu. Beliau menawarkan suatu pekerjaan, ibuku diikutkan dalam usahanya di toko. Setiap harinya ibu harus menghantarkan nasi goreng ke tokonya. Itu mungkin membantu kami lebih mudah berjualan karena satu-satunya toko di daerah itu hanya toko Pak Rahdi dan strategis dengan sekolah. Banyak siswa yang suka berbelanja di sana.

Sudah tiga bulan ibu bekerjasama dengan Pak Rahdi. Sepertinya penghasilan kami mulai stabil. Akupun tak pernah dipanggil karena masalah uang pembayaran sekolah. Jika ada waktu luang, aku sering menghantarkan nasi goreng ke toko Pak Rahdi. Maksudku ingin bantu-bantu ibu tanpa harus meninggalkan waktu belajar. “Menyelam sambil minum air” pepatah ini yang sering menyertaiku tiap harinya.

Memang benar kata orang. Hidup ini penuh dengan kejutan. Kemarin hidup masih tenang-tenag saja tapi, hari ini gelombang telah menghantam hidup kami dan hampir tergoyahkan. Kepercayaan yang telah diberikan Pak Rahdi, warga-warga dan semua pelanggan kami, dihapuskan oleh suatu masalah. Ketika seorang siswi keracunan setelah mengkonsumsi nasi goreng di toko Pak Rahdi. Dengan segera siswi itu dilarikan ke rumah sakit. Sisa nasi goreng dan muntahnnya masih diperiksa di laboratorium rumah sakit. Dua hari pemeriksaan terbukti bahwa nasi goreng kami mengandung racun. Dengan beberapa tuduhan dan bukti-bukti yang ada. Hari itu juga polisi datang ke rumah kami. Sebagai tanda penangkapan, polisi memperlihatkan selembar kertas kepada ibu. Ibu yang merasa tak bersalah, hanya merespon dengan setitik air mata.Tapi aku yang tidak dapat menerima semua itu.

“ Ibu … ibu …. Bu … Kita tidak bersalah Bu??. Pak Polisi tolong lepaskan ibu saya … ??” Dalam kepanikan aku terus mengucapkan kata-kata ibu sambil menarik-narik tangan ibu dari jangkauan para polisi. Hingga akhirnya ibu masuk kedalam sebuah mobil dan menjauh dari sudut pandanganku.

“ Ibu … !!” itu jeritan terakhirku setelah terengah-engah mengejar mobil yang bersama ibu. Aku tidak bisa menolong ibu. Brontakkanku tak berarti bagi beberapa orang polisi itu.

Berita siswa keracunan itu dengan cepat kilat menggelegar ke segala arah dan terdengar oleh telinga semua orang. Seribu mata tertuju padaku dan siap meperolok serta mempermalukan diriku. Ketika istirahat di kantin, teman-teman menutup makanannya dan menoleh kepadaku. Seolah-olah aku penyebar virus berbahaya. Di rumahpun begitu. ibu-ibu yang sedang bersantai-santai ria memadati gang sambil menyuapi anaknya nasi atau bubur dan ketika aku melintas di depannya, mereka langsung membondong anaknya masuk.

“Tidak ada yang mau menerima aku. Cobaan apa lagi ini Tuhan … ?? Kenapa aku harus tanggung seorang diri. Terlalu banyak cobaan yang engkau berikan. Tabahkanlah hatiku …..” kata-kata itu yang sering orang lontarkan jika tak tahan dengan cobaan dan sekarang aku menirukannya.

Dua jam berlalu dari detakan jam dinding. Bayangan ibu serasa melekat erat diujung pelupuk mataku. Kesedihan masih mewarnai ruang hatiku. Aku tidak percaya, siswi itu keracunan oleh nasi goreng kami. Tapi , aku tak tau harus berbuat apa untuk mengungkapkan suatu kebenaran yang aku yakini. Dalam kegelisahan. Hatiku terketuk oleh sesuatu. Tersentuh melakukan sesuatu. Bisikan itu membuatku berhasrat untuk memohon kepada Tuhan. Aku mengadu semuanya kepada Tuhan. Setelah itu pikiranku terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Tuk … tuk … tuk . Aku mendengar seseorang sedang mengetuk.Tapi bukan hatiku yang terketuk melainkan pintu rumahku. Cepat-cepat kubuka pintu rumah dan kudapati Pak Rahdi berdiri menungguku dengan membawakan kantung putih berisikan makanan untuk orang sakit, sekilas aku sudah mengerti maksudnya itu. Aku menyetujui ajakan Pak Rahdi menjenguk siswi yang keracunan itu.

Sesampainya kami di kamar rumah sakit tempat siswi itu dirawat, kulihat dia sudah sadar dan kondisinya membaik. Ketika aku menatap matanya, dia menyalurkan kearah mamanya dengan tatapan yang sama. Seakan-akan dia berbuat suatu kesalahan dan ingin dimaafkan. Perlahan tapi pasti. Siswi itu bercerita suatu hal terjadi. Dihadapan aku , Pak Rahdi, keluarganya dan dua orang polisi yang kebetulan juga menjenguknya. Dia mengatakan bahwa dia bermaksud untuk bunuh diri karena dia tak sanggup ditinggal kekasihnya karena gadis lain. Waktu itu dia pergi ke toko Pak Rahdi hendak membeli nasi goreng dan berbarengan dengan itu dicampurkannya racun tikus kedalam nasi. Tapi baru setengah daru botol racun itu tertuang, sementara ada orang lain yang berbelanja. Mungkin karena itu dia masih bisa ditolong dan hidup sampai sekarang.

Karena kesaksiannya itu. Ibu bebas dari hukuman. “Maaf , Ibu Mirah. Anda sekarang dibebaskan, karena terbukti tidak bersalah.”

Ibu yang tadinya hanya termangu seakan-akan tersentak oleh ucapan polisi itu. Ibu dengan spontan mengucapkan terima kasih kepada polisi itu dan tidak tanggung-tanggung mencium tangannya. Sinar senyuman ibu tak bisa dikalahkan sinar bulan purnama pada malam itu. Dibawah bayang-bayang sinar bulan, ibu memangku tubuhku. Rasanya masa-masa indah sewaktu aku berumur lima tahun terulang kembali. Tapi waktu itu ada ayah disampingku. Dan sekarang, aku hanya bisa melihat ayah di atas sana. Jauh, sangah jauh. Tak bisa kuraih lagi.

“Apakah kamu bahagia?” Tanya ibu.

“Tentu saja. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar lagi selain bersama ibu …”

“Apa kamu lapar ? Mau nasi goreng buatan ibu ?”

“Mau … mau… sangat mau”jawabku sambil menganggukkan kepala, memperjelas kerinduanku pada nasi goreng buatan ibu. Yang pasti rasanya ...Wuuuuenak . Mak ... Nyus … Muantep . Enak tenan. Pokoknya TOP Banget !!!.

Notabane:* cerpen ini telah menjadi pemenang ketiga dalam sayembara penulisan cerpen remaja se-Bali 2008 di Balai Bahasa Denpasar.

Kehebohan Novel Rafilus...? Mw tau??

Kehidupan Manusia Besi

Judul : Rafilus

Pengarang : Budi Darma

Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta

Tahun : 1988 (cetakan pertama)

Tebal : 198 halaman


Rafilus merupakan manusia yang terbentuk dari besi. Tidak ada darah ataupun daging yang menjadi unsur pembangun tubuhnya. Mungkin dia tidak akan mati. Andaikata tumbang, paling-paling dia akan mengkarat. Pertemuannya dengan Tiwar pada sebuah undangan dari seseorang yang bernama Jumarup, merupakan awal kisah cerita Rafilus. Melalui kesaksian tunggal Tiwar, kita di ajak menjelajahi absurditas manusia.

Didalam novel Rafilus, terjadi perubahan peristiwa pada tokoh Rafilus. Kehidupan masa kecilnya berbeda dengan masa dewasanya. Peristiwa yang di alaminya berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Rafilus kecil hidup di rumah yatim piatu. Ia menjalani kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan kerasnya hidup. Akan tetapi Rafilus dewasa tumbuh menjadi seorang yang misterius dan tidak mudah di tebak bagaimana jalan pikirannya. Rafilus memiliki keanehan-keanehan karena masa kecilnya yang suram.

Rafilus juga sangat menginginkan seorang anak, tetapi setiap wanita yang di buahinya tidak ada yang memberikan tanda-tanda kepuasan hatinya. Walaupun sesadar-sadarnya rafilus sudah mengetahui semua itu tidak akan pernah terjadi. Tubuhnya yang tidak ada darah dan daging baginya adalah kosomg. Oleh sebab itu, sesuatu yang kosong akan menghasilkan kekosongan pula.

Keberadaan Rafilus sangat dirasakan oleh Tiwar. Andaikata Tiwas tidak pernah bertemu dengan Rafilus, mungkin Tiwar tidak akan mewawancarai Munandir, dan tidak akan mempunyai nafsu untuk menyimak surat-surat Pawestri.

Rafilus meninggal sekitar pertengahan atau akhir bulan Juli 1981. Rafilus meninggal karena terlindas kereta api, dan mayatnya terlanjur tergeletak. Untuk membuang mayatnya pun orang harus banyak berpikir.

Dari cerita-ceritanya dapat diketahui, bahwa pada saat Rafilus lahir, dia justru dianggap beban. Sekarang di hari kematiannya, dia juga menjadi beban banyak orang. Kecongkakannya serta tidak pernah menyapa warga semasa hidupnya memperkuat beban warga untuk tidak merawat mayatnya.

Cerita diatas merupakan sekilas jalinan kisah sebuah novel karya penulis kelahiran Rembang, 25 April 1937, yakni Budi Darma yang berjudul Rafilus. Novel ini merupakan novel kedua Budi Darma, setelah keberhasilannya dengan novel yang pertama yaitu Olenka. Novel Rafilus telah banyak mendapat perhatian dan telah mengantarkannya ke berbagai upacara pemberian hadiah. Novel ini mulai di tulisnya ketika Budi Darma mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris pada tahun 1985. Meskipun peristiwa-pristiwa dalam Rafilus terjadi di Surabaya, tetapi sesuai dengan pilihan judul, novel ini telah berhasil mengungkapkan segi-segi gelap kehidupan manusia pada umumnya. Tentunya dari pengakuan para pelaku novel ini. Pengakuan hidup para pelaku novel ini jika kita cermati sangat membosankan. Tetapi apabila kita sadari, pengakuan ini memberikan gambaran bahwa seseorang dalam mengaku pun masih bisa munafik.

Novel Rafilus ini berbentuk abstraksi kehidupan, yang peristiwa-peristiwanya saling membaur dan menjadikan Rafilus bukan semata novel pikiran, novel Rafilus penuh dengan tokoh yang tindakan-tindakannya mengejutkan. Budi Darma selalu menceritakan jungkir balik kehidupan dalam novel Rafilus, seluruh tokoh pelakunya selalu dalam kondisi sadar akan keterbatasan.

Mencermati novel-novel karya Budi Darma, persamaan yang paling sering ditemukan antara novel Rafilus dan novel Olenka adalah Budi Darma seolah-olah dalam bercerita selalu membayangkan dirinya sebagai objek yang sedang menyaksikan peristiwa-peristiwa yang di alami oleh subjek pelakunya. Pernyataan ini di perkuat oleh tokoh yang bernama Tiwar, ia menjadi kunci kesaksian tunggal atas pengakuan dan perubahan nasib tokoh Rafilus, Pawesti, Munandir, Van Der Klooning, Jaan van Kraal, Raminten dan Jamarup.

Sama halnya dalam judul-judul novel yang digunakan oleh Budi Darma memiliki kesamaan yaitu menggunakan nama tokoh pelakunya. Tak beda juga pada sampul buku yang digunakan kedua novel ini yang sama-sama menjadikan warna hitam lebih dominan serta diimbuhi warna merah orange. Jadi, kesannya Budi Darma menciptakan novel yang sewajah.