Kamis, 02 Oktober 2008

Kehebohan Novel Rafilus...? Mw tau??

Kehidupan Manusia Besi

Judul : Rafilus

Pengarang : Budi Darma

Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta

Tahun : 1988 (cetakan pertama)

Tebal : 198 halaman


Rafilus merupakan manusia yang terbentuk dari besi. Tidak ada darah ataupun daging yang menjadi unsur pembangun tubuhnya. Mungkin dia tidak akan mati. Andaikata tumbang, paling-paling dia akan mengkarat. Pertemuannya dengan Tiwar pada sebuah undangan dari seseorang yang bernama Jumarup, merupakan awal kisah cerita Rafilus. Melalui kesaksian tunggal Tiwar, kita di ajak menjelajahi absurditas manusia.

Didalam novel Rafilus, terjadi perubahan peristiwa pada tokoh Rafilus. Kehidupan masa kecilnya berbeda dengan masa dewasanya. Peristiwa yang di alaminya berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Rafilus kecil hidup di rumah yatim piatu. Ia menjalani kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan kerasnya hidup. Akan tetapi Rafilus dewasa tumbuh menjadi seorang yang misterius dan tidak mudah di tebak bagaimana jalan pikirannya. Rafilus memiliki keanehan-keanehan karena masa kecilnya yang suram.

Rafilus juga sangat menginginkan seorang anak, tetapi setiap wanita yang di buahinya tidak ada yang memberikan tanda-tanda kepuasan hatinya. Walaupun sesadar-sadarnya rafilus sudah mengetahui semua itu tidak akan pernah terjadi. Tubuhnya yang tidak ada darah dan daging baginya adalah kosomg. Oleh sebab itu, sesuatu yang kosong akan menghasilkan kekosongan pula.

Keberadaan Rafilus sangat dirasakan oleh Tiwar. Andaikata Tiwas tidak pernah bertemu dengan Rafilus, mungkin Tiwar tidak akan mewawancarai Munandir, dan tidak akan mempunyai nafsu untuk menyimak surat-surat Pawestri.

Rafilus meninggal sekitar pertengahan atau akhir bulan Juli 1981. Rafilus meninggal karena terlindas kereta api, dan mayatnya terlanjur tergeletak. Untuk membuang mayatnya pun orang harus banyak berpikir.

Dari cerita-ceritanya dapat diketahui, bahwa pada saat Rafilus lahir, dia justru dianggap beban. Sekarang di hari kematiannya, dia juga menjadi beban banyak orang. Kecongkakannya serta tidak pernah menyapa warga semasa hidupnya memperkuat beban warga untuk tidak merawat mayatnya.

Cerita diatas merupakan sekilas jalinan kisah sebuah novel karya penulis kelahiran Rembang, 25 April 1937, yakni Budi Darma yang berjudul Rafilus. Novel ini merupakan novel kedua Budi Darma, setelah keberhasilannya dengan novel yang pertama yaitu Olenka. Novel Rafilus telah banyak mendapat perhatian dan telah mengantarkannya ke berbagai upacara pemberian hadiah. Novel ini mulai di tulisnya ketika Budi Darma mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris pada tahun 1985. Meskipun peristiwa-pristiwa dalam Rafilus terjadi di Surabaya, tetapi sesuai dengan pilihan judul, novel ini telah berhasil mengungkapkan segi-segi gelap kehidupan manusia pada umumnya. Tentunya dari pengakuan para pelaku novel ini. Pengakuan hidup para pelaku novel ini jika kita cermati sangat membosankan. Tetapi apabila kita sadari, pengakuan ini memberikan gambaran bahwa seseorang dalam mengaku pun masih bisa munafik.

Novel Rafilus ini berbentuk abstraksi kehidupan, yang peristiwa-peristiwanya saling membaur dan menjadikan Rafilus bukan semata novel pikiran, novel Rafilus penuh dengan tokoh yang tindakan-tindakannya mengejutkan. Budi Darma selalu menceritakan jungkir balik kehidupan dalam novel Rafilus, seluruh tokoh pelakunya selalu dalam kondisi sadar akan keterbatasan.

Mencermati novel-novel karya Budi Darma, persamaan yang paling sering ditemukan antara novel Rafilus dan novel Olenka adalah Budi Darma seolah-olah dalam bercerita selalu membayangkan dirinya sebagai objek yang sedang menyaksikan peristiwa-peristiwa yang di alami oleh subjek pelakunya. Pernyataan ini di perkuat oleh tokoh yang bernama Tiwar, ia menjadi kunci kesaksian tunggal atas pengakuan dan perubahan nasib tokoh Rafilus, Pawesti, Munandir, Van Der Klooning, Jaan van Kraal, Raminten dan Jamarup.

Sama halnya dalam judul-judul novel yang digunakan oleh Budi Darma memiliki kesamaan yaitu menggunakan nama tokoh pelakunya. Tak beda juga pada sampul buku yang digunakan kedua novel ini yang sama-sama menjadikan warna hitam lebih dominan serta diimbuhi warna merah orange. Jadi, kesannya Budi Darma menciptakan novel yang sewajah.

Tidak ada komentar: